Kain Nusantara Ciri Khas Indonesia di Fesyen Internasional

10.06 Edit Entri

(Foto: Fitri Yulianti/okezone) BEBERAPA tahun terakhir, kain tradisional telah dimanfaatkan secara luas sebagai bagian dari tren fesyen. Meski merupakan kekayaan lokal, penggarapan serius diperlukan guna meningkatkan gengsinya di mata internasional.

Menurut Presiden Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) Sjamsidar Isa, geliat penggunaan kain tradisional yang kini bahkan telah menjadi produk massal dimulai sejak 5 tahun terakhir. Eksplorasi dimulai ketika harga kain impor cukup menguras kocek. Selain alasan keterdesakan, jiwa nasionalisme yang semakin tumbuh turut mendasari.

“Dulu ibu-ibu kita bangga pakai baju luar negeri, sekarang dengan bangga ke pesta bisa pakai baju Seba (Sebastian Gunawan-red), Deny Wirawan. Akhirnya, mereka mulai menyadari bahwa kita begitu kaya akan budaya yang bisa mereka angkat sebagai koleksi,” tuturnya secara ekslusif kepada okezone usai konferensi pers Jakarta Fashion Week 10/11 di Potato Head, Pacific Place, Jakarta.

Tjammy, sapaannya, menuturkan asal mula penggunaan kain nusantara semakin marak di kalangan pelaku mode Tanah Air. Ceritanya, pada sebuah ajang Singapura Fashion Week, Tjammy bersama beberapa desainer Indonesia mengadakan pertemuan dengan presiden asosiasi mode se-Asean untuk membahas perkembangan fesyen negara-negara Asia Tenggara.

“Intinya, Indonesia punya banyak kelebihan. Kita punya ragam budaya yang luas. Sekarang, coba bandingkan dengan Singapura yang enggak punya culture, ragam budaya, bingung. Ini yang akhirnya menjadi inspirasi perancang Indonesia. Mereka berpikir, kalau ingin berbeda dari negara lain, harus ada sesuatu yang khusus. Kenapa enggak mengangkat budaya dan kerajinan daerah?,” kata wanita yang telah menjadi Presiden IPMI sejak 25 tahun lalu ini.

Belakangan, budaya dan kerajinan lokal makin dikembangkan. Terbukti, banyak program yang mengajak desainer untuk menggalinya lebih dalam, sebut saja Cita Tenun Indonesia (CTI) di mana Tjammy aktif terlibat di dalamnya.

“Kita punya program pembinaan kepada pengrajin. Dengan itu, mereka (desainer-red) dari yang tadinya tidak mengenal tenun, bisa mencintai tenun, dan akhirnya bisa mengolahnya,” imbuh wanita berusia 64 tahun ini.

Keuntungan mengeksplorasi kekayaan lokal tak hanya dirasakan desainer, tapi juga pengrajin. Dalam menunaikan tanggung jawabnya, desainer diajak ke daerah penghasil kerajinan dan kain tradisional untuk berbagi ilmu dengan pengrajin, mulai dari proses pembuatan kain, membaca selera pasar, hingga pemasarannya.

“Kita kalau mau bersaing dengan Eropa, mau menang dari mana? Tapi, kalau kita punya sesuatu yang menjadi ciri khas, sekarang kan tinggal memasukkan culture-nya mau sampai sejauh mana, supaya tetap international style,“ tukasnya.

Hasil kerajinan tidak dimanfaatkan secara mentah, tapi diolah sedemikian rupa hingga sesuai dengan selera pasar internasional sebagai pasar yang disasar.

“Jangan terlalu mentah, umpamanya konsep kebaya atau baju kurung, banyak yang bisa diambil, atau motif ukir, anyaman, banyak sekali. Bagaimana mengolahnya sehingga bisa membuat suatu koleksi yang mempunyai international style. Itu yang penting. Menerjemahkannya yang enggak mudah,” katanya.(ftr)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »